Selasa, 21 Juni 2011

Kemalasan kontra Produktifitas

Kemalasan adalah sesuatu yang kita hadapi setiap hari, di rumah, dan di tempat kerja. Kita saksikan orang-orang malas dari semua usia, bentuk, dan warna di mana-mana.
Beberapa darinya jelas, lainnya tidak begitu jelas, dari yang tidak melakukan apa-apa sampai yang kelihatan seperti bekerja. Apapun tingkat kemalasan seseorang, lebih merupakan soal produktivitas tidak memadai daripada ciri-ciri kepribadian tertentu atau kebiasaan-kebiasaan kerja.
Mel Levine, MD, seorang profesor di University of North Carolina Medical School dalam bukunya mengatakan, The Myth of Laziness, bahwa “kemalasan” adalah istilah yang merujuk pada disfungsi yang menyebabkan gagal hasil (output failure). Ketika seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan sampai potensi optimal, mereka gagal, dan seringkali diberi dijuluki “malas”.
Penyebab-penyebab tidak tercapai atau berhasil memuaskan mungkin mencakup elemen-elemen fisik atau psikologis. Namun, penyebab-penyebab ini cenderung dimaklumi dan dimaafkan. Elemen-elemen ini adalah variabel-variabel yang disebut “mitos kemalasan” karena ketika ditetapkan, individu-individu mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ditangani dengan keterampilan mereka.
Namun, gagal hasil tidak dapat diterima ketika terjadi tanpa masalah-masalah fisik atau psikologis yang signifikan dan tanpa alasan-alasan apapun yang dapat diterima untuk mempercayai bahwa seseorang atau sekelompok orang telah mencoba melakukan sampai kapasitas optimal mereka.
Dalam penataan kelompok, seperti di institusi atau komunitas, kemalasan dapat tercanang di dalam kelompok yang dibangun.
Anggapan dasar (premis) bahwa orang pada dasarnya malas adalah mengutuk. Studi manajemen telah berkembang menyediakan anggapan dasar yang lebih manusiawi bahwa orang pada dasarnya tekun dan suka bekerja. Lillian Moller Gilbreth memadukan psikologi dengan kondisi-kondisi kerja. Dia percaya bahwa seseorang puas dengan menggunakan keterampilan-keterampilannya di pekerjaan.
Secara alami, ini akan mengurangi produktivitas tidak memadai, buang-buang waktu, atau malas. Semakin baik keterampilan seseorang sesuai pekerjaannya, semakin baik kinerjanya, sehingga produktivitasnya meningkat.
Perihal Indonesia, negara dengan jumlah penduduk 238 juta orang, sudahkah kita berproduksi secara signifikan? Jika tidak, gagal hasil, kasus klasik tidak cukup berusaha, yang dikatakan, kemalasan?
Pertanyaan sulit untuk dijawab tanpa menyakiti perasaan siapapun karena tentu tidak seorang pun mau dianggap malas. Maka mari kita jabarkan kejadian ini secara diplomatis: Dengan jumlah penduduk besar itu, Indonesia telah gagal hasil. Salahkan sejarah, salahkan budaya, salahkan keadaan sekarang atas kesehatan psikologis (atau kekurangannya) karena para pemimpinnya berpuas diri. Namun, kita bisa putus lingkaran setan dengan kemauan kuat seseorang dan sikap positif Saya-Bisa (can-do).
Menyalahkan–termasuk menyalahkan masa lalu–tidak mengubah apapun. Mengakui kita keliru apa dan bertekad memperbaiki akan membuat perbedaan (make a difference).
Survei terbaru Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan 80 persen dari 3.000 responden anak-anak Indonesia adalah pemikir negatif.
Pemikiran negatif ini juga dikenal sebagai hambatan mental (blok mental). Citra diri negatif tercipta oleh dan menciptakan kebiasaan-kebiasaan buruk, hanya jenis baru yang membuat jantung kita berpacu lebih cepat.
Bagaimana kita bisa meningkatkan produktivitas dengan pemikir-pemikir negatif sebagai modal manusia kita? Jawabannya kompleks dan harus ditujukan pada semua tingkatan: secara individu, di dalam keluarga, di sekolah, di tempat kerja, oleh mereka yang duduk di atas maupun pada umumnya.
Idealnya, pendekatan menyeluruh diadopsi, dengan penekanan pada kesadaran pola pikir tumbuh (growth mindsets) daripada pola pikir menetap (fixed mindsets). Menurut Carol S. Dweck, Ph.D, profesor Psikologi di Stanford University, dikutip Benjamin Barber, sosiolog terkemuka, “Saya tidak membagi dunia menjadi yang lemah dan yang kuat, atau yang berhasil dan yang gagal. Saya membagi dunia menjadi pembelajar dan non-pembelajar.
Dweck selanjutnya mengatakan ada empat langkah mengubah pola pikir menetap menjadi pola pikir tumbuh. Pertama, mengakui yang negatif, pola pikir menetap yang menghambat mental yang telah membisiki “tidak-tidak-tidak”.
Kedua, mengenali bahwa setiap kegagalan bisa dilihat sebagai kehancuran total atau sebuah kesempatan belajar. Kita punya pilihan. Ketiga, kapanpun penghalang mental yang negatif bicara-sendiri mengambil alih, kita bicara balik dengan positif, suara-suara Saya-Bisa. Keempat, hanya bertindak atas pilihan berdasar skenario pikiran positif.
Sebuah lingkungan belajar yang bahagia menciptakan suasana positif yang diperlukan untuk pola pikir tumbuh berkembang. Kemalasan mungkin lebih dari sekadar mitos, fakta di Indonesia yang sarat-korupsi. Tapi kami punya obat penawarnya sepanjang: Mengubah hambatan mental anak menjadi pola pikir tumbuh, satu anak satu waktu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar